Kyai
Ahmad Siroj, bagi masyarakat Solo dan sekitarnya cukup dikenal dengan sapaan
mBah Siroj. Beliau selalu berpakaian khas dengan memakai iket (blangkon), berbaju putih, bersarung ‘wulung’ dan memakai
‘gamparan’ tinggi walau sedang bepergian jauh.
Tidak
hanya kekhasan dalam berpakaian, namun beliau dikenal juga sebagai seorang
ulama yang arif, shaleh, dan mempunyai kharisma. Setiap ucapannya, konon
memiliki sejumlah makna (sasmita).
Bahkan di jajaran Kota Solo, beliau dikenal sebagai seorang Waliyullah dengan
beberapa karomah yang dimilikinya.
Maka,
berdasarkan kepribadian dan sikap hidup serta istiqamah beliau, banyak muridnya
yang senantiasa menyelenggarakan haul untuk mengenang wafat beliau setiap
tahunnya.
Kyai
Ahmad Siroj merupakan putra Kyai Umar atau yang lebih dikenal dengan nama Imam
Pura, salah seorang Waliyullah. Makam Kyai Imam Pura berada di Susukan,
Kabupaten Semarang. Menurut sumber yang
ada, Kyai Imam Pura ini bila ditarik lebih adalah memiliki garis keturunan
dengan Sunan Hasan Munadi, salah seorang paman R. Patah yang ditugaskan
mengislamkan daerah lereng Gunung Merbabu sebelah utara, atau sekarang dikenal
sebagai Desa Nyatnyono.
Kyai
Ahmad Siroj mempunyai beberapa saudara, di antaranya adalah Kyai Kholil yang
bermukim di Kauman, Solo, dan Kyai Djuwaidi yang bertempat tinggal di Tengaran,
Kabupaten Semarang. Keduanya sudah almarhum.
Semasa
mudanya, Kyai Ahmad Siroj selalu ta’dhim
pada gurunya. Bila berjanji selalu ditepati. Bila berkesanggupan, pasti
dijalani. Sejak kecil memang beliau telah kelihatan menonjol bila dibandingkan
dengan teman-teman seusianya.
Beliau
bergaul dengan semua lapisan masyarakat tanpa membedakan suku, agama, ras
maupun status sosial dan kelompok moral macam apapun. Dengan penjual bakso di
Notosuman yang beragama Khatolik dan seorang Tionghoa, beliau berhubungan baik
dan saling berkunjung. Bahkan hingga kini setiap ada haulnya Kyai Ahmad Siroj,
penjual bakso tersebut berkenan mengirim tiga kambing serta beberapa kuintal
beras untuk menyukseskan acara haul tersebut.
Dengan
Romo Petrus Sugiyanto, dijalin juga persahabatan. Kyai Ahmad Siroj sering
diundang makan dan sering melakukan sholat di rumahnya. Begitupun Romo tersebut
sering mengunjungi beliau.
Kyai
Ahmad Siroj tidak segan makan satu piring dengan santrinya atau orang yang
menginginkan mendekati beliau. Bila mereka butuh uang, beliau tidak segan-segan
membantunya. Sebaliknya, bila beliau meminta uang, bukan untuk diri pribadi
tapi untuk orang lain yang membutuhkannya.
Ahli Ibadah
Sewaktu
masih muda, Kyai Ahmad Siroj berguru kepada beberapa ulama besar. Di Pesantren
Mangunsari yang berada di Nganjuk, Jawa Timur, beliau menimba ilmu kepada Kyai
Bahri. Di Pesantren Tremas yang berlokasi di Pacitan, Jawa Timur, beliau
berguru kepada K.H. Dimyati At-Tirmizi, dan di Semarang, beliau berguru kepada
Kyai Sholeh Darat.
Kyai
Ahmad Siroj termasuk pengikut Tariqah Qadariyah Naqsabandiyah sebagaimana yang
diamalkan oleh Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Beliau
terkenal sebagai ‘abid (ahli ibadah).
Beliau senantiasa berjamaah shalat lima waktu, jarang sekali beliau shalat
sendirian. Shalat sunnah rawatib, qabliyah dan ba’diyah selalu dijalankan secara lengkap. Yang empat rakaat
dijalankan empat rakaat.
Shalat
Dluha dilakasanakan oleh beliau secara kontinyu sebanyak delapan rakaat,
meskipun sedang berada di rumah orang lain. Sedangkan antara maghrib dan isya’,
beliau melakukan shalat awwabin.
Doa
yang banyak dipanjatkan oleh beliau adalah “Ya
Allah, Tuhan kami, Engkaulah yang kami tuju dan ridha-Mu yang kami cari.
Berilah kepada kami ridha-Mu dan kecintaan-Mu serta ma’rifat-Mu.”
Silaturahmi
termasuk ibadah yang beliau gemari dan rajin dilakukan. Beliau acap menerima
tamu dari pelbagai kalangan dan tamu-tamu itu dilayaninya dengan baik. Saat
tengah malam tiba, beliau selalu bangun untuk menjalankan shalat tahajjud atau qiyamul lail.
Semasa
hidup, beliau mendirikan Pesantren di Jalan Honggowongso 57 Kelurahan
Panularan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah di atas
tanah seluas 200 m². Kitab yang diajarkan oleh beliau, selain Al-Qur’an dan
Hadits adalah Sullamut Taufiq, Safinatun-Najah, Duratul-bahiyyah dan Fathul
Qorib. Selain itu, banyak pula ajaran beliau yang sifatnya hafalan.
Memiliki Karomah
Al-magfurlah
mBah Siroj memiliki beberapa karomah sebagai perwujudan kewaliannya. Yang
dimaksud karomah di sini adalah
kejadian yang luar biasa, di luar kebiasaan, yang timbul dari Waliyullah. Kalau
timbul dari Nabi disebut mu’jizat,
sedangkan dari mukmin yang shaleh dinamakan ma’unah.
Beberapa
karomah yang ada pada diri beliau, dapatlah diutarakan antara lain:
Kasyaf
Beliau
mempunyai kemampuan melihat yang tidak diketahui oleh mata biasa (kasyaf). Peristiwa ini terjadi saat
tentara Belanda akan masuk Kota Solo ketika aksi kolonial kedua atau dikenal
sebagai clash ke-2 pada tahun 1948.
Satu seksi lascar Hizbullah yang terdiri dari 50 orang, berkumpul di Begalon,
Panularan. Kyai Ahmad Siroj tiba-tiba datang mengadakan inspeksi.
Seorang
anggota lascar Hizbullah bernama Hayyun, 25 tahun, tiba-tiba didekati beliau
lalu dipeluknya seraya berucap “ahlul
jannah … ahlul jannah”.
Tak
lama kemudian, datang tentara Belanda dengan sejumlah pasukan tank, lewat Pasar
Kembang ke arah selatan. Hayyun maju dengan beraninya sendirian sambil membawa
granat nanas, lalu dicabutnya dan melompat sambil melempar granat ke arah tank.
Ketika tank meledak, terbakarlah tentara Belanda yang berada di dalam tank juga
termasuk Hayyun, si pelempar granat tersebut.
Menurut
salah seorang saksi mata, H. Abdullah Adnan, veteran pejuang RI eks Laskar
Hizbullah dan pasukan “Lawa-Lawa” di bawah komandan Letnan Fathul Rujito yang
kini tinggal di Yogyakarta, menuturkan bahwa tahulah kemudian Laskar Hizbullah,
teman-teman Hayyun, mengapa beberapa saat sebelumnya mBah Siroj memeluknya
sambil berucap “ahlul jannah … ahlul
jannah”. Begitulah, Hayyun gugur sebagai syuhada, patriot bangsa.
Berulang kali berhaji
Secara
lahiriah, Kyai Ahmad Siroj belum pernah menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Tetapi
banyak orang yang ke tanah suci Mekkah bertemu beliau di sana.
K.H.
Bulqin Zuhdi, salah seorang murid pertama Kyai Ahmad Siroj yang bermukim di
Nglangak, Gemolong, Sragen menceritakan bahwa pada tahun 1937 dirinya
menunaikan ibadah haji. Berangkat dengan naik kapal laut bersama 1960 orang
jamaah haji lainnya.
Sehabis
makan siang, Kyai Bulqin berkata dalam hati, bila sampai di Mekkah pada hari
Jumat waktu subuh, akan dicarinya mBah Siroj. Sebab, sering didengarnya ada
seorang waliyullah sering shalat subuh di Mekkah pada hari Jumat.
Sesaat
kemudian, tiba-tiba datanglah Kyai Ahmad Siroj menemuinya di kapal. Ditanyakan
antara lain, siapakah syekhnya di tanah suci nanti. Setelah berbincang sejenak,
Kyai Ahmad Siroj tidak dilihatnya lagi. Sudah barang tentu, muridnya tersebut
merasa keheranan.
Ketika
sudah sampai di Mekkah, Kyai Bulqin hendak menjalankan ibadah shalat subuh.
Kyai Bulqin berpikir lagi tentang kemungkinan-kemungkinan gurunya juga
menunaikan shalat subuh di Mekkah. Mungkinkah Kyai Ahmad Siroj juga datang
seperti kisah yang pernah didengarnya.
Sewaktu
berada di dekat Hajar Aswad, tiba-tiba tampak olehnya mBah Siroj sedang
melakukan tawaf, mengelilingi Ka’bah dengan memakai iket (blangkon), berbaju putih, bersarung ‘wulung’ tanpa gamparan.
Diikutinya
putaran demi putaran. Pada putaran ke tujuh, Kyai Bulqin hendak menyalami mBah
Kyai Siroj namun pada putaran terakhir mBah Siroj sudah tidak tampak lagi.
Meski menyesal tidak dapat bersalaman dengan mBah Siroj, kini yakinlah Kyai
Bulqin bahwa yang tidak mengkin bagi orang biasa, bagi waliyullah seperti Kyai
Ahmad Siroj, mungkin-mungkin saja.
Berjalan Luar Biasa Cepatnya
Waktu
Kyai Shoimuri, putra Kyai Ahmad Siroj selesai mengadakan akad nikah dengan Nyai
Latifah di daerah Boyolali, rombongan Kyai Ahmad Siroj segera berkehendak
pulang ke Solo bersama 33 santrinya.
Kyai
Bulqin, salah seorang murid santrinya, disuruh mengantarkan pulang rombongan
Nyai Siroj dengan naik kereta api. Ia disuruh berangkat lebih dahulu, sedangkan
Kyai Ahmad Siroj akan menyusul dengan jalan kaki.
Anehnya,
setiba di Solo, rombongan Kyai Bulqin baru sampai Ngapeman, mBah Siroj sudah
berada di sampai di rumahnya yang berada di Panularan, Laweyan, Solo. Bagaimana
itu dapat terjadi, pikir para rombongan yang brangkat lebih dahulu tersebut.
Kejadian
serupa juga dialami oleh Nyai Sa’diyah Ali. Suatu ketika bersama Kyai Ahmad
Siroj bepergian ke Boyolali dari Karang Gede. Waktu berangkat sudah adzan
maghrib. Sesampai di Masjid Dawung, Boyolali, belum qomat, masih pujian.
Padahal kedua tempat itu jauh dan ditempuh dengan jalan kaki.
H.
Dasuki pun pernah mengalami hal serupa. Suatu ketika diminta mBah Siroj
mengikuti beliau bepergian dari Desa Paesan ke Boyolali yang jaraknya sekitar
10 km. Sesampainya di tempat yang dituju, tasbih Kyai Ahmad Siroj masih
tertinggal di Paesan. Lalu, disuruhnya H. Dasuki mengambilkannya, berjalan kaki
pulang balik. Waktu berangkat sudah adzan maghrib. Anehnya, waktu kembali di
Masjid Kokosan, Boyolali, belum qomat maghrib. Menurutnya, itu berkah Kyai Ahmad
Siroj.
Nasi Satu Kendil
Suatu
ketika Kyai Ahmad Siroj bepergian bersama 24 santrinya ke Susukan, Kabupaten
Semarang dari Solo. Tuan rumah yang dikunjungi termasuk orang tidak mampu
(miskin). Untuk memuliakan tamu, dimasakkannya oleh Abdus-Syakur, tuan rumah,
satu kendil nasi. Karena nasi terbatas, Kyai Ahmad Siroj sendirilah yang
dipersilahkan makan dalam kamar.
Kyai
Ahmad Siroj tidak bersedia. Nasi diminta dihidangkan ruang depan di mana beliau
dan santrinya sedang duduk bersila. Nasi satu kendil itu dibagi-bagikan kepada
semua tamu. Anehnya, setiap orang mendapatkan satu piring penuh, cukup untuk
makan kenyang.
Erat dengan Pejabat/Raja
Sekitar
tahun 1935, Kyai Ahmad Siroj mengajak Imam Muslim bepergian. Sesampai di Pura
Mangkunegara, mereka terus masuk.
Di
Pendapa Mangkunegaran, Kyai Ahmad Siroj bertemu dengan seseorang yang tidak
dikenal oleh Imam Muslim. Dua insanpun segera saling berpelukan erat,
menggambarkan saling melepas rindu, setelah lama tak bersua. Lalu, mereka
menuju ke belakang, duduk berhadapan sambil berbincang seperlunya.
Akhirnya,
mengertilah Imam Muslim bahwa yang saling berbincang antara Kyai Ahmad Siroj
dengan orang tersebut, tidak lain adalah Kanjeng Gusti Adipati Arya (KGAA)
Mangkunegara VII. Perbincangan tersebut berakhir sekitar pukul 02.30 dini hari,
lalu mereka segera meninggalkan Pura Mangkunegaran. Sesampai di Pasar Pon,
pohon asam yang berdahan tinggi diraih Kyai Ahmad Siroj untuk menghentikan
sepeda motor yang datang dari arah timur. Penumpangnya pun berhenti, lalu turun.
Sebagaimana
kejadian di Pura Mangkunegaran, di tempat inipun keduanya saling berpeluk erat,
menunjukkan keakraban. Setelah berbincang sejenak, berpisahlah keduanya.
Dari
percakapan Kyai Ahmad Siroj dengan penumpang motor tersebut, Imam Muslim
barulah mengetahui bahwa ternyata yang bersepeda motor lalu berhenti dan
bercakap-cakap dengan Kyai Ahmad Siroj, tidak lain adalah Ingkang Sampeyandalem
Sri Susuhunan Paku Buwono X, Raja Kasunanan Surakarta yang termahsyur.
Pintu Terkunci, Bisa Masuk
Semasa
kecil, Ahmad Siroj, tinggal serumah dengan Kyai Abdus-Syakur, kakak iparnya.
Sesekali anak ini kena ‘slenthik’
karena kenakalannya.
Suatu
malam, Kyai Abdus-Syakur pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat. Pintu rumah
pun kemudian ditutup, dan dikunci dari luar. Maklum, Ahmad Siroj di kala itu
sedang pergi ke luar rumah juga.
Sepulang
shalat isya’, Kyai Abdus-Syakur merasa heran. Sesampai di halaman rumahnya,
dari dalam rumah sudah terdengar suara anak sedang tadarrus dengan suara yang nyaring. Anak yang sedang tadarrus itu adalah Ahmad Siroj.
Lalu
ditanya “Kau lewat mana, nak?” Dijawab oleh Ahmad Siroj “Inggih lewat mriku
mawon.” (Ya melalui situ juga). Sejak itu, Kyai Abdus-Syakur tak pernah lagi
member ‘slenthikan’ padanya.
Kali
yang lain, Kyai Abdus-Syakur pergi ke Desa Petak untuk mendatangi acara
syukuran perkawinan. Ahmad Siroj yang masih bocah di kala itu disuruh tinggal
di rumah.
Alangkah
terkejutnya, sesampai di tempat upacara perkawinan, ternyata Ahmad Siroj telah
berada di situ.
Seusai
upacara perkawinan, Kyai Abdus-Syakur pun pulang lebih dahulu. Tidak kurang
herannya, sesampai di rumah, Ahmad Siroj telah berada di dalam rumah. Lalu, hal
itu ditanyakan kepada Ahmad Siroj, dan dijawab “Kang, jarene aku kon tunggu
omah.” (Kak, katanya saya disuruh nunggu rumah).
Meski Hujan Tak Basah
Bersama
dua santrinya, suatu ketika Kyai Ahmad Siroj bepergian ke Desa Penggung. Ketika pulang, di tengah jalan
turunlah hujan lebat. Terpaksalah berhenti, mampir ke Desa Grabagan.
Kedua
santri yang mengikuti Kyai Siroj basah kuyup bajunya, tetapi Kyai Ahmad Siroj
tidak apa-apa, tetap kering bajunya.
Sungai Banjir Besar Terlewati
Suatu
hari, Kyai Siroj bersama seorang santri pergi menuju ke Desa Magu. Untuk
keperluan shalat dhuha, berhentilah sebentar di Desa Rejasa. Seusai mengucapkan
salam, santripun disuruhnya berangkat terlebih dahulu. Kyai Ahmad Siroj akan
menyusulnya kemudian.
Dalam
perjalanannya, santri tersebut terhenti di tengah jalan karena harus
menyeberangi sungai yang airnya sedang besar-besarnya. Tak disangka, Kyai Ahmad
Siroj dilihatnya telah berada di seberang sungai.
Dengan
berteriak, santri pun bertanya “Gus, sampeyan niku wau medal pundi?” (Gus, Anda
tadi lewat mana?)
Jawab
Kyai Ahmad Siroj “Ah, ya metu kono kuwi ta, lha metu ngendi maneh!” (Ah, ya
melalui situ juga, lha lewat mana lagi kalau bukan di situ!)
Karena
santri tersebut disuruh menyeberang tidak berani, Kyai Ahmad Siroj perintahkan
padanya agar pulang saja.
Bak Air Kosong, Penuh Tiba-Tiba
Pada
suatu ketika, Kyai Ahmad Siroj sedang berkunjung ke rumah Muhyi di Cepogo. Bak
air (pengaron) yang berada di
rumahnya, diminta oleh Kyai Ahmad Siroj untuk dibersihkan agar supaya bisa
diisi dengan air.
Setelah
pengaron bersih, Muhyi lalu pergi ke
sumur untuk mengambil air guna diisikan pada pengaron tadi. Namun, alangkah terkejutnya ketika Muhyi hendak
menuangkan air ke dalam pengaron
tersebut, ternyata pengaron kosong
tadi telah penuh berisi air.
Impian Jadi Kenyataan
Pada
suatu saat, Kyai Ahmad Siroj memerlukan shalat Jumat berturut-turut selama 7
Jumat di masjid yang di kemudian hari dikenal dengan nama Masjid Al-Muayyad
yang terletak Jalan K.H. Samanhudi 64 Mangkuyudan, Solo.
Pada
malam Jumat minggu ke-7, Kyai Asfari (kala itu berstatus duda) mimpi dianjurkan
Kyai Ahmad Siroj agar menikah dengan Nyai Syafi’ah.
Jumat
siang, sehabis shalat Jumat di Masjid Al-Muayyad, Kyai Ahmad Siroj singgah ke
rumah dekat masjid tersebut. Di samping Kyai Asfari berada di situ, juga K.H.A.
Umar Abdul Mannan. Jamuan makan siang pun disajikan. Kebetulan yang
menghidangkan Nyai Syafia’ah juga.
Seketika
itu juga, Kyai Ahmad Siroj memerintahkan agar Kyai Asfari pergi (sowan) ke
rumah Kyai Manshur di Popongan, Delanggu, Klaten. Ternyata perintah Kyai
Manshur sama dengan Kyai Ahmad Siroj sebelumnya. Malah ditetapka hari
tanggalnya sekaligus.
Setelah
diingat-ingatnya, ternyata 3 tahun yang lalu K.H.A. Umar pernah diperintah
memotong kambing pada haritanggal tersebut (tepat pada hari/tanggal ijab Kyai
Asfari dengan Nyai Syafi’ah).
Meninggal, Beri Impian
Ketika
Kyai Ahmad Siroj sakit yang selanjutnya meninggal dunia pada Senin Pahing, 27 Muharram
138 H atau 10 Juni 1961, Kyai Zaenal Makarim (Karang Gede) mimpi bertemu Kyai
Ahmad Siroj.
“Mengapa
saya sakit tak kau jenguk?” Tanya Kyai Ahmad Siroj kepada Kyai Zaenal Makarim
dalam mimpi.
Terperanjatlah
Kyai Zaenal Makarim, lalu seketika beliau berangkat ke Solo untuk menjenguk
Kyai Ahmad Siroj. Sesampai di Solo, ternyata jenazah telah diberangkatkan sampai
di Jalan Rajiman, Kadipolo.
“Inna
lillahi wa inna ilaihi roji’un. Dari Allah kita berasal, dan kepada-Nya pula
kita akan kembali” ucapnya kemudian.
Kejadian
serupa juga dialami oleh Sayyid Abdullah di Kepatihan, Solo. Pada pagi hari
itu, sekitar pukul 05.00 mimpi didatangi Kyai Ahmad Siroj, dan membangunkannya
seraya berucap “Sampun nggih Bib, kula rumiyin, sampeyan kantun.” (Sudahlah
Bib, saya duluan, Anda menyusul).
Alangkah
terkejutnya Sang Habib. Seketika itu pula, Sayyid Abdullah pergi ke Panularan
di mana rumah Kyai Ahmad Siroj. Ternyata dapat berita, bahwa Kyai Ahmad Siroj
telah meninggal dunia pada pukul 04.00 pagi hari itu.
“Anehnya,
pukul 04.00 pagi Kyai Ahmad Siroj meninggal, pukul 05.00 laksana berkunjung ke
Kepatihan” kata Sayyid Abdullah, dalam hati tidak kurang herannya. Doa pun
segera dipanjatkan bagi almarhum Kyai Ahmad Siroj.
Kyai
Ahmad Siroj dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Makam Haji, Kartasura,
Sukoharjo.
Semasa
hidup, Kyai Ahmad Siroj tidak pernah mengaku sebagai seorang waliyullah secara
pribadi. Namun, banyak orang mengakui kewalian almarhum beserta karomahnya.
Contoh di atas hanyalah sebagian karomah yang dimiliki Kyai Ahmad Siroj untuk
membuktikan kewalian almarhum. Tentu saja masih banyak karomah lain yang belum
terungkap di sini. Karena masih banyak cerita di masyarakat Solo perihal
‘keistimewaan’ Kyai Ahmad Siroj dalam kepribadiannya. ***
Kepustakaan:
Hakim Adnan, 1989, Mengenang Jejak Kyai Ahmad Siroj/Sala Masyhur: Waliyullah, Berkaromah Banyak (1878-1981/83 Tahun), Sala: Pondok Pesantren As-Siroj